Rabu, 13 Maret 2013
Oleh: Akhyar Hadi, Mahasiswa Univ. Islam Madinah Ma'hadil Lughoh Angkatan 1433-1434 H
Lelaki itu
seperti lelaki tua biasa. Biasanya lelaki tua sepertinya ditemui di lambung
Masjid Nabawi, sebagai jamaah umroh
akibat terlalu lama menunggu giliran haji. Atau lelaki tua sepertinya ada di
sawah, kelelahan mencangkul walau
matahari baru naik setengah.
Bisa juga lelaki sepertinya kita temui sedang duduk-duduk di teras
sambil menghias pot bunga, membersihkan rumput, dan menanam pohon kecil di pekarangan.
Atau, kalau kita menyaksikan berita banjir di TVRI, lelaki seperti ini biasanya
diwawancarai karena terlambat mendapat jatah bantuan mie instan. Dia jenis
lelaki yang mudah didapati. Lelaki tua yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Diusianya yang
sudah memasuki kepala enam, wajar jika seluruh rambut di kepalanya
memutih. Tiap-tiap helai itu adalah gambaran masalah yang dilaluinya,
guratan-guratan kerut di wajahnya adalah lambang goresan waktu yang jemawa.
Tangan kanan dan kirinya tak lagi sekuat dulu. Bahunya yang dulu kekar, kini
mulai kurus dan membungkuk. Ototnya lemah. Kadang dia beristighfar sambil menarik napas panjang
ketika lelah. Tapi kawan, matanya istimewa. Di situlah pusat
gravitasi pesona dirinya. Matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang
mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong. Seseorang yang biasa kucium
tangannya. Ayah, kupanggil ia.
...
Ayahku adalah ayah
pada umumnya. Ayah yang ketika aku kecil, menyediakan tempat duduk istimewa untukku saat karnaval
kota malam Idul Fitri. Dia mendudukkanku
di bahunya,
digenggamnya erat kakiku agar nyaman saat duduk. Tak ia pedulikan karnaval itu. Karena tawaku adalah karnaval baginya. Bahagiaku adalah iringan semangat
hidupnya.
Aku juga masih
kecil saat itu. Ayah hanya seorang supir truk batubara di pedalaman Kalimantan.
Bekerja selepas Isya lalu pulang
sehabis Shubuh. Ayah adalah lelaki pendiam, tak banyak bicara. Tak suka memukul.
Tak pandai ia marah. Walau begitu, ayah adalah tolak ukur tindakan bagiku, contoh hidup tingkah laku.
Tak pernah ia cerewet menyuruhku salat. Ia hanya mengerjakan, lalu mengajakku
bersamanya. Sesederhana itu, Kawan. Ia juga sangat ingin aku sering-sering membaca Al-Quran, walau tak
pernah ia menyuruh. Walau tak pernah
ia mencontohkan cara membaca Al-Quran. Kau tahu
kenapa, Kawan? Karena kutahu, ia
pun terbata membacanya.
Biasanya aku
menghabiskan waktu bersama ayahku tiap akhir pekan. Aku senang berada di bak truk besarnya.
Beliau duduk bersamaku sambil bercerita. Tentang para pahlawan, tentang
panorama-panorama, bintang dan planet-planetnya, tentang semesta, juga tentang
kota-kota yang pernah disinggahinya. Dia senang bercerita tentang banyak kota,
dan aku tahu kota impiannya adalah Mekkah dan Madinah.
Jauh, jauh di lubuk hatinya ia mendambakan kota itu melebihi kota manapun di dunia.
Walau dia tak mengatakannya langsung, tapi aku tahu dengan sendirinya, seolah
ada bahasa lain selain bahasa lisan, bahasa yang dijalin antara seorang anak
dan ayahnya
dari hati ke hati.
“Ayah ingin
sekali pergi haji.”
Begitu kiranya
jika kata itu diucapkan.
...
Aku masih muda,
sedang ayah
menua. Semenjak krisis ekonomi, harga batubara anjlok. Ayah dengan setumpuk
masalah keuangan yang menimpanya bangkrut. Truk besar tua kami mogok. Rusak.
Sekarat. Seolah bosan terlalu lama memikul bongkahan-bongkahan batu hitam
langka. Tak bisa lagi diperbaiki karena tak ada biaya. Ayah tak bisa lagi bekerja.
Ayah menganggur bertahun-tahun lamanya.
Ayah pun
sekarang menikmati masa tuanya dengan belajar banyak dari agama. Sering pergi
ke kajian-kajian ilmiah. Rajin ia membaca. Berlama-lama dengan kumpulan buku
dan majalahnya. Jiwa tua itu masih sangat antusias. Sesuatu yang tak ia dapat
selagi muda. Matanya, iya matanya, selalu membulat ketika menjelaskan kalau bid’ah itu semuanya sesat. Walau kata-katanya sedikit, aku dibuatnya
percaya kalau semua kesesatan itu tempatnya di neraka. Dia juga
orang paling mengamati tiap senti celana.
Dijaganya agar aku
tak menjulurkan pakaian melebihi batasnya. Ayah sangat senang pergi ke masjid.
Tak pernah absen ia ke sana. Tubuh tuanya itu mendadak
kuat jika berjalan sebelum waktu Shubuh yang dingin, dan jika ia
pergi ke masjid sebelum Maghrib, maka
ia akan datang ke rumah setelah Isya.
Dengan kaki-kaki tuanya. Hampir satu kilometer jauhnya.
Setelah lulus
sekolah menengah atas di sebuah kota di Banjarmasin, aku merantau belajar menjadi mekanik handphone dan komputer di tempat
pamanku, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah setahun di sana
dan merasa punya skill, aku kembali
ke Banjarmasin dengan tujuan bisa kuliah sambil membuka sebuah toko service handphone dan komputer. Aku
mulai membeli alat-alat service, juga iklan di sana-sini.
Mendadak, aku
terkenal dengan julukan tukang handphone.
Aku menjalankan bisnis ini pelan-pelan, dari pintu ke pintu. Mulai dari
keluarga sampai orang-orang di sekitarku. Pelangganku pun bermacam-macam, Kawan.
Dari tukang kambing, pedagang asongan, pengangguran, ustadz, ibu rumah
tangga, sampai mahasiswa. Kau tahu, Kawan,
kenapa mereka senang aku memperbaiki telepon tangan mereka? Jawabannya adalah karena
mereka bisa menentukan garansi semau mereka.
Namun hari itu,
Kawan,
hari itu adalah hari aku bersama ayah pergi ke sebuah majelis taklim, di
mana setelah memberikan tausiyah, seorang ustadz
menawarkan beasiswa bagi lulusan SMA yang ingin menghafal Al-Quran di Bogor. Ayah menunduk. Didengarnya
iklan itu dengan seksama. Aku melihat matanya.
“Ayo kita
pulang, Yar.”
Mata teduhnya
tak bisa mengecohku. Sembilan belas tahun menjadi anaknya tentu aku mengerti maksudnya.
Ia ingin Aku
lebih baik darinya. Bisa membaca Al-Quran dengan
sempurna. Tak seperti dirinya yang terbata. Namun tak bisa ia meminta. Ia masih
tak banyak bicara.
“Saya mendaftar
beasiswa itu, Yah. Kalau diterima Saya langsung
berangkat ke Bogor.”
Kulihat matanya
membulat. Wajahnya berseri seketika.Walau tanpa kata, namun ada senyum di sana.
Bagiku, melihatnya tersenyum adalah sebuah harta.
...
Dan akhirnya aku benar-benar mendapatkan beasiswa itu. Walau aku tahu, aku sebenarnya tidak bisa membaca Al-Quran dengan baik, setidaknya aku akan berusaha. Setidaknya aku akan belajar untuk membuatnya bangga. Aku ingin mengajarinya,
membaca Al-Quran bersamanya. Walau aku
sadar, Aku hanya seorang tukang service
handphone. Tapi Kawan, bukankah Syaikh Albani yang nama beliau sering
kujumpai di buku dan majalah ayahku juga pernah menjadi seorang mekanik jam?
Hari itu aku meninggalkannya merantau lagi ke pulau Jawa. Setelah mencium tangannya, aku memeluknya. Hangat sekali peluknya, seperti
selimut bagi seorang gelandangan kota Malang yang kedinginan. Jam dua malam.
“Hati-hati, Yar.”
Ia masih tak banyak
berkata. Namun pelukannya itu bermakna. Nasihatnya mengandung harapan besar.
Harapan agar anaknya bernasib lebih baik darinya. Dan begitulah seorang ayah seharusnya.
...
Aku merantau,
menuju pulau
Jawa. Tak muluk aku ingin jadi orang yang hafal Al-Quran, bagiku bisa
membaca Al-Quran dengan baik
saja sudah lebih dari cukup. Mungkin bisa menjadi imam di kampung saat tarawih
dengan ayahku
menjadi makmum saja, aku
sudah sangat bahagia. Karena aku telah berjanji membuatnya bangga. Tapi karena Allah, tetap
menjadi niat yang utama.
...
Musim-musim
berganti, setiap tahun aku pulang sekali. Mengunjungi ayah yang kurindui setiap hari. Ayahku
adalah anak keenam dari empat belas bersaudara. Semuanya kaya raya kecuali dia,
semua sudah naik haji kecuali dia.
Kini,
setelah ia tak lagi memiliki perkerjaan, harapannya untuk naik haji hilang
pelan-pelan. Namun bukan ayah namanya jika kehilangan semangatnya, dengan sedikit uangnya ia
ikut mencicil TV kabel berlangganan, yang mana dibayar urunan beberapa keluarga
dalam satu perumahan. Dengan TV tabung tahun 1998, dicarinya channel Mekkah dan Madinah. Di saat
ia tidak berada di masjid, maka acara dua stasiun TV Arab Saudi itulah teman kesukaannya.
Ia senang memonton sambil bersandar pada sebuah kursi. Jika ia bosan dengan
siaran di Mekkah, maka digantinya ke siaran stasiun Madinah, jika bosan lagi,
maka akan kembali ke stasiun semula. Terus berpindah seperti itu. Layaknya metromini jurusan Blok M-Pasar Minggu yang tak
singgah ke terminal lain. Jika si tukang kameramen mengambil gambar Masjid
Nabawi, lalu menyorot karpet hijau antara mimbar dan makam Nabi Shallallahu
‘alaihi wassallam, maka bibirnya bergerak, seolah ia
sedang meminta, berharap agar doanya diterima. Lain lagi jika sang kameramen
menyorot ka’bah, maka ayah bangun dari sandarannya, dipasangnya kacamatanya agar tak samar
pandangannya, seolah ia membayangkan dirinya berada di sana lalu mengitari
rumah tua itu dengan bahagianya. Dipandangnya ka’bah dan beberapa
bagian Masjidil Harom dengan haru,
lalu diliriknya wajahku, seolah berkata,
“Kau lihat, Yar..
itu prosesi umroh. Lihat Yar! Lihat Baitullah, itu kiblat kita. Tahukah
engkau, Anakku,
Ayah sangat ingin ke sana. Ayah ingin mencium hajar aswad, Ayah
ingin berlari-lari kecil seperti orang di Shafa dan Marwa itu, Yar..
Lihat! ”
Aku kelu. Pria
pendiam ini juga menyimpan cita-citanya dalam diam.
Yang membuat
pilu di hatiku
semakin ngilu adalah ketika melihatnya di masjid bergaul dengan teman-teman
seumurannya yang semuanya juga sudah pernah menunaikan ibadah haji. Adalah adat
di kampung kami bahwa sebuah pemuliaan panggil memanggil dengan sebutan “haji”.
Teman-temannya kadang memanggil ayah dengan
sebutan haji hanya untuk memuliakan ayah yang umurnya terlihat lebih tua dari mereka. Aku mafhum,
ayah kelu di hatinya. Ingin ia seperti teman-temannya. Panggilan itu hanya
fatamorgana untuknya. Seperti melihat air di aspal nun jauh,
semu, tak ada apa-apa.
Pernah suatu
hari ayah menolong seseorang di jalan. Orang itu berterima kasih
sembari mendoakan,
“Terimakasih, Pak.
Semoga Bapak cepat naik haji,” lirihnya.
Hari itu aku
melihat ayahku
tersenyum. Senyum itu, Kawan, senyum itu begitu dalam maknanya, untukku dan untuknya. Untuknya
karena doa itu masuk ke hatinya lalu ia berharap agar di-ijabah Tuhan pemilik timur dan barat. Untukku,
karena aku ingin sekali melihat ayahku tersenyum
lagi, seperti hari ini, aku ingin sekali ayah pergi ke rumah
Allah. Tuhan pemilik arah kiblat.
...
Di tengah
perantauanku di Pulau Jawa. Setelah berganti-ganti pondok tahfizh
beberapa kali, aku bermukim di Jogja. Hari itu, aku menelpon ayah, mengabari bahwa ada tes penerimaan mahasiswa baru Universitas
Islam Madinah. Pria tua itu terperanjat. Lalu membanjiriku dengan kata. Bercerita
ia, tiap detail katanya adalah semangat dan intonasinya berupa letupan-letupan
motivasi. Ia laksana merapi yang menumpahkan seluruh larva. Mencurahkan apa
yang ia rasa. Ia berjanji akan memberiku apapun yang kuperlukan untuk bisa ikut
tes perguruan tinggi yang ia katakan sebagai universitas Islam
terbaik di dunia. Aku pun terperanjat. Ganjil sekali, seolah itu bukan ayahku
yang pendiam.
Dan yang paling
membuatku haru adalah ketika ia berkata, “Jangan
pikirkan masalah uang, Nak, jangan pikirkan. Ayah yang akan mencarikan. Insya
Allah.”
Terisak ia.
Kau tahu, Kawan,
ayahku sekarang hanya supir ambulan sebuah masjid, itu pun
terkadang. Tak setiap hari ia dapat uang. Ia berjanji akan menyisipkan namaku
dalam setiap doanya, di sepertiga malamnya. Setiap harinya.
...
Hari itu dua
puluh dua tahun usiaku. Berada di pedalaman Jawa
selepas salat Shubuh. Aku bersama
dua orang temanku, Isnan dan Mukhroji. Kami
baru saja mengikuti tes masuk Universitas Islam Madinah di Pondok Pesantren Darussalam,
Gontor, Ponorogo. Kami memutuskan pulang setelah Shubuh. Nahas, pedalaman Ponorogo itu bukanlah Bogor yang angkot bisa
lewat 24 jam. Kami menunggu sampai matahari meninggi. Berharap ada tumpangan
transportasi.
Mukhroji cemas,
ia harus secepatnya sampai ke Tegal karena ada suatu urusan keluarga. Berkali-kali
pemuda tinggi ini menoleh ke sana-kemari berharap angkutan pedesaan segera datang. Sebentar
duduk, ia bangkit berdiri, lalu menoleh lagi. Kawanku ini mungkin mendapat musykil
yang berat dalam keluarganya. Lain lagi si Isnan, pemuda ramah asal Klaten ini
ingin cepat pulang karena hampir setiap hari di sini ia memakan
pecel
khas Jawa Timur. Yang mana efek sampingnya adalah bosan, tak selera makan, dan
sedikit mengganggu pencernaan. Pemuda terakhir, yaitu Aku,
dengan alasan yang sama dengan Isnan. Karena kami membeli makanan secara
patungan. Di pagi itu, kami menunggu dengan kumpulan rasa bosan.
Namun di ujung
jalan, sayup-sayup bayangan kecil muncul, membesar dan kian dekat dengan tiga
orang malang tadi. Bayangan itu menjadi nyata berupa sebuah mobil besar, gagah,
dan nyaring bunyinya. Sebuah truk. Namun wajah dua temanku datar. Berbeda denganku yang sumringah
tiap melihat sebuah truk. Kulambaikan tangan, girang aku. Berteriak-teriak
seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat ayunan di sebuah
taman bermain.
Truk itu
berhenti. Aku membuka pintu. Seorang pria di sana. Tak
terlalu muda. Kutaksir empat puluhan umurnya. Pandangan matanya, seolah sudah
tahu sebelumnya bahwa tiga orang di pinggir jalan
itu hanya akan merepotkannya. Wajahnya sangar. Mimiknya kasar. Otot-otot
badannya besar.
Ia mirip tukang pukul seorang pejabat yang baru saja dilantik menjadi bupati.
Namun semua itu
mencair ketika aku menatap matanya. Seolah ia melihat sesuatu di wajahku. Wajah
yang seolah bicara. Berbicara bahwa ayahku adalah supir truk seperti dirinya. Dia pun seolah mengerti
apa yang kubahasakan lewat wajah. Mungkin ada bahasa yang kurasa hanya aku dan
para supir-supir truk saja yang memahaminya. Atau mungkin juga karena
wajahku memelas dengan sempurna.
“Naiklah!” Ia
langsung ramah. Entah kemana si tukang pukul bupati ini
menaruh mimik seram yang diperagakannya sebelumnya.
Isnan dan Mukhroji
naik dan duduk disamping sang supir. Hanya bisa untuk dua orang tempat duduknya.
Aku? Ah, Kawan,
aku mencari tempat favoritku. Menaiki bak truk itu. Bak itu hanya persegi panjang
dari besi dengan sisa-sisa pasir berhamburan, melayang dan berputar terbawa
angin. Aku duduk di sana. Hening. Bergoyang-goyang di jalan pedesaan
yang bergelombang. Aku melamun. Di sana seolah ada lorong waktu yang membawaku
jauh. Jauh ke masa lalu. Ke masa kecilku. Bersama ayahku di sebuah bak truk. Aku melihat ia bercerita. Aku mendengar
intonasi khasnya. Aku mendengar suara kecilku tertawa. Aku merasa tubuh kecilku
digendongnya. Wajah mudanya masih kuingat dalam pikiranku. Sesekali ia
bercerita sambil mengusap rambut ikalku. Aku terbuai fantasi. Indah sekali.
Lorong waktu itu lalu mengembalikanku ke dunia
nyata. Aku sendiri di sini merindukannya. Dalam sebuah bak truk dengan sisa-sisa pasir di dalamnya.
Mataku sakit diserang butiran-butiran pasir yang melayang dalam pusaran angin
di bak. Tapi bukan itu alasanku untuk meneteskan air mata. Air itu jatuh karena
aku rindu pada ayah.
Rindu tak terkira.
...
Beberapa musim
berganti dengan cepatnya. Banyak hal-hal yang tak pernah kita kira dan kita
duga. Sebuah doa melesat ke langit dan dijawab oleh Tuhan Pemilik Semesta. Aku akhirnya
diterima. Aku dapat beasiswa ke Madinah. Lagi-lagi aku merantau jauh
meninggalkan seorang lelaki tua. Sebelum pergi aku memeluknya. Ia kembali
menjadi dirinya yang tak banyak berkata. Tapi aku tahu, pelukan itu sudah
mengatakan semuanya. Bahwa ia bangga. Ia bangga anaknya bisa ke kota impiannya.
Kota yang sering ia ceritakan. Bahwa ia pun rela jika seandainya tak pernah
bisa ke Madinah, asal anaknya bisa. Anaknya bisa lebih baik darinya. Bisa
berangkat haji. Bisa salat dengan ganjaran ribuan kali. Lalu kudengar kata
keluar dari mulutnya, pujian untuk Ilahi Robbi.
...
Hari ini, di mana
aku berdiri, di kota yang mulia ini, adalah giliranku yang berusaha berbuat
untuknya. Aku masuk dalam program persiapan bahasa, dua tahun lamanya, sebelum
bisa kuliah di salah satu jurusan yang tersedia. Berada di sini
adalah level terendah seorang mahasiswa. Aku di sini adalah
gabungan antara kejahilan bahasa dan keberuntungan bisa berada di sini
semakin lama.
Kau tahu, Kawan,
Kau
bisa saja merendahkanku karena hinanya aku di mata kalian,
kita berbeda, Kawan. Aku masih memiliki ayah yang harus
kubahagiakan. Tiap uang yang kuterima kusisihkan, tiap lantunan doa kuselipkan.
Aku ingin pergi haji bersama ayahku. Aku ingin mengitari ka’bah
bersamanya. Menuntunnya. Berlari
kecil di sampingnya
antara Shafa dan Marwa. Aku ingin
membimbingnya. Aku ingin suatu hari ia melihatku berada di kampus kita, yang ia
sangka terbaik di dunia. Aku ingin ia tahu kalau aku sudah bisa membaca Al-Quran di Masjid Nabawi. Aku ingin
memanjatkan doa bersamanya di Raudhoh. Ingin
kuceritakan ia tentang seluk beluk kota ini, kota impiannya. Seperti ia
menceritakan padaku ketika aku kecil.
Kapankah itu?
Entahlah, Kawan. Entahlah kapan. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum lagi.
Tersenyum saat pergi haji.
…
Ayahku adalah
lelaki tua seperti biasanya. Lelaki sepertinya bisa kita jumpai di mana
saja. Tapi bagiku, ayah adalah lelaki istimewa. Aku bertahan di sini
menunggunya. Menunggu keajaiban Tuhan untuknya. Akan tibakah saatnya?
...
Ini adalah
cerita sederhana sebuah kata. Kata yang kita semua memilikinya. Entah kita
masih memilikinya, atau telah tiada.
‘Ayah.’
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar